Menyikapi Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi
COVID-19
|
Ilustrasi Indonesia Lockdown. Sumber: disway.id |
Virus lain yang sama membahayakan dengan Corona
adalah virus kepanikan. Semakin panik seseorang semakin menurun imunitas
tubuhnya. Padahal imunitas tubuh ini yang paling penting dan harus dijaga,
sebab seseorang yang sembuh oleh karena virus apapun termasuk Corona, itu
dikarenakan imunitas tubuhnya yang berperang melawan virus tersebut. Bahkan
semakin menurun imunitas tubuh semakin berpotensi tertular virus apapun. Jadi
penting banget jaga imun dengan tidak panik. Jaga jarak memang paling benar.
Sayangnya masih banyak manusia tawakal tak berikhtiar atau menganggap Corona
sebagai iblis yang harus dilawan dan ditantang atas nama Tuhan, lalu sesumbar "lebih
takut Corona dari pada Tuhan? Kalo memang waktunya kena yaudah kena, kalo
memang waktunya mati yaudah mati, toh semua di tangan Tuhan". Justru pola
pikir seperti ini akan menstimulus diri untuk melanggar pedoman dan himbauan
yang sudah dikeluarkan oleh otoritas yang mengatur, dan memperpanjang daftar
manusia yang terinfeksi.
Corona adalah virus ciptaan Tuhan yang tujuannya
sendiri tidak satupun manusia mengetahui. (Maaf saya kurang sepakat, Corona itu
ciptaan manusia) Oke, pun jika Corona ciptaan manusia lalu manusia itu ciptaan
siapa? Jagat buana ini juga siapa yang mengatur kalo bukan yang menciptakan
manusia. Jika manusia mempercayakan "semua terjadi atas kehendak
Tuhan" seharusnya manusia tau pandemik Corona juga atas kehendak Tuhan
yang tujuannya sendiri siapa yang tau. Yang jelas di balik semua ini ada
hikmah. Apa aja hikmahnya? Bayangkan oleh karena Corona berapa juta polusi yang
berkurang, manusia terpaksa mengurung diri di dalam rumah, menghentikan segala
bentuk macam aktivitas, entah itu mengendarai kendaraan pribadi, menyalakan
mesin pabrik dan membuat cerobongnya mengepulkan asap hitam pekat, memproduksi
limbah-limbah dan memperbanyak sampah, segala aktivitas yang memberatkan bumi
terhenti dan bumi kembali lebih sehat. Mau bukti? Dilansir dari CNN Indonesia[i],
Italia dan Cina mengalami penurunan drastis terkait polusi udara dan adanya
peningkatan yang cukup signifikan terkait kualitas udara di kedua negara ketika
terjadinya pandemik Corona. Peningkatan kualitas udara di Cina yang signifikan
terhitung bulan Januari disampaikan oleh NASA dan Badan Antariksa Eropa.
Sementara di Italia peningkatan udara yang signifkan adalah dampak dari tidak
berjalannya mobil diesel. Penurunan polusi udara dan meningkatnya kualitas
udara menjadi salah satu hikmah yang baik oleh karena adanya Corona. Adakah
hikmah lain? Ada, Tuhan selalu mengupayakan agar manusia bisa berprasangka baik
di atas prasangkanya yang buruk dan bias atas terjadinya wabah Corona, contoh
jika salah satu ustadz mengatakan Corona adalah tentara Allah untuk melawan Cina
yang sudah menzalimi etnis Uighur, lantas mengapa Tuhan menurunkan polusi udara
dan meningkatkan kualitas udara di Cina dan membuat Cina khususnya Wuhan kini
sudah berkurang penularan virusnya? Dengan demikian seseorang akan berpikir panjang
dan berulang untuk menjustifikasi segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
karena adanya sesuatu yang baik di atas sesuatu yang buruk.
Tapi hikmah tersebut akan kita peroleh apabila kita
sebagai manusia mau mematuhi peratiran yang ditetapkan dan diterapkan oleh
otoritas tertinggi, seperti jaga jarak, di rumah aja selama dua minggu ke depan
dan segala aktivitas dilakukan di rumah seperti, bekerja, bersekolah, ibadah,
dsb. Sayangnya dalam hal ibadah masih banyak manusia yang ya seperti yang saya
sebutkan di atas, merasa bahwa Corona adalah suatu iblis yang harus dilawan
atas nama Tuhan, padahal Corona sendiri ciptaan Tuhan yang tujuannya siapa yang
tau. Sehingga pada akhirnya hal ini menimbulkan kontradiksi ketika pemerintah
sebagai otoritas tertinggi menerapkan kebijakan salah satunya untuk meniadakan
shalat Jumat selama beberapa pekan ke depan bagi daerah yang terdampak begitu parah seperti di DKI Jakarta. Saya menemui banyaknya anggapan
oleh karena ada Corona seharusnya kita meningkatkan ibadah kita bersama dan
bagi yang muslim salah satunya yaitu shalat berjamaah. Sehingga tak jarang
masih banyak beberapa masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat. Namun, sayangnya
aktivitas seperti ini justru bisa meningkatkan potensi penularan virus Corona,
oleh sebab itu pemerintah meniadakan shalat berjamaah selama beberapa pekan ke
depan. Justru dengan ditiadakan dan kita shalat di rumah akan mempercepat
putusnya rantai penularan virus Corona, dibandingkan jika kita masih melakukan
aktivitas seperti biasanya dan melawan peraturan pemerintah yang sudah
ditetapkan. Karena lebih baik menahan diri sementara waktu agar bisa menjalakan
aktivitas seperti biasa untuk seterusnya dibandingkan tidak menahan diri sementara
waktu dan tidak bisa menjalan aktivitas seperti biasanya seterusnya. Lagipula pesan
yang ditinggalkan oleh Baginda Rasul nabi Muhammad SAW sebelum wafat, adalah
agar umatnya senantiasa menegakkan shalat dan tidak meninggalkannya.
Selain itu muncul juga pendapat lain, “Fatwa tentang sholat Jumat dan jamaah libur
akan mudah dipahami jika pemerintah telah menerapkan kebijakan Lockdown”
– “Kalo pemerintah belum menerapkan kebijakan Lockdown, itu artinya, keadaan
belum genting -genting amat” – “Gimana sih pemerintah bukannya nerapin
kebijakan lockdown”. Untuk memandang hal ini kita memerlukan kepala yang dingin
dan menggunakan pandangan segala sisi kita serta menyampingkan preferensi
politik. Mengenai lockdown pada dasarnya sudah diatur dalam UU Kekarantinaan
Kesehatan No.6 Tahun 2018. Sebelum kita masuk ke UU tersebut, mari kita pahami
dulu pengertian lockdown. Lockdown memiliki arti tindakan darurat atau kondisi
di mana orang-orang untuk sementara dicegah memasuki atau meninggalkan area
atau bangunan terbatas (seperti sekolah) selama ancaman bahaya
[ii].
Sedangkan menurut UU Kekarantinaan Kesehatan No.6 Tahun 2018
[iii],
pada pasal 1 mengenai ketentuan umum, ayat 1 menyebutkan:
“Kekarantinaan Kesehatan adalah
upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor
risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat”.
Dengan
kata lain pengertian lockdown tidak jauh berbeda dengan pengertian kekerantinaan kesehatan
yang diatur dalam UU No.6 Tahun 2018. Mengenai tindakan kekarantinaan kesehatan
disebutkan dalam pasal 15 ayat 2 yaitu:
a. Karantina,
Isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau
dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi; b. Pembatasan Sosial Berskala
Besar; ' c. disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap
Alat Angkut dan Barang; dan/atau d. penyehatan, pengamanan, dan pengendalian
terhadap media lingkungan.
Sementara pengertian mengenai karantina, isolasi dan
pembatasan sosial berskalabesar disebutkan dalam pasal 1. Di dalam pasal 1 ayat
6, 7 dan 11. Berdasarkan pasal 1 ayat 6:
Karantina adalah
pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan meskipun belum
menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau
pemisahan peti kemas, Alat Angkut, atau Barang apapun yang diduga
terkontaminasi dari orang dan/atau Barang yang mengandung penyebab penyakit
atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke
orang dan/atau Barang di sekitarnya.
Selanjutnya pengertian isolasi berdasarkan pasal 1
ayat 7 ialah:
Isolasi adalah
pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
Dan pengertian pembatasan sosial berskalabesar
berdasarkan pasal 1 ayat 11 yaitu:
Pembatasan
Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa
untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Pengertian lockdown lebih mendekati dengan pengertian karantina wilayah. Pengertian karantina wilayah tidak jauh berbeda dengan pengertian karantina hanya saja cakupannya menjadi luas berdasarkan wilayah. Pengertian karantina wilayah dan pemberlakuannya sendiri juga diatur di dalam pasal 1 dan 53–55 dalam UU №6 Tahun 2018.
Nah berdasarkan apa yang saya jelaskan di atas, pada
dasarnya pemerintah telah berupaya melakukan “lockdown” namun disesuaikan dengan UU yang berlaku yaitu UU No.6
Tahun 2018, salah satunya dengan menerapkan kebijakan social distancing (jaga jarak), work
from home (kerja dari rumah) buntut dari peliburan kerja, school from home (sekolah dari rumah)
buntut dari peliburan sekolah, meniadakan misa, nyepi, dan shalat Jumat
berjamaah yang disebutkan pada pasal 36. Upaya pemerintah me-lockdown pun dilakukan secara bertahap,
paket penerapan yang saya sebutkan sebelumnya diterapkan lebih awal, lalu
disusul dengan penutupan tempat-tempat publik yang berpotensi menimbulkan
perkumpulan dalam skala besar dan banyak. Selanjutnya dilakukan disinfeksi, dan kemungkinan kedepannya akan ada kebijakan
pembatasan transportasi publik. Jika memang kejadian luar biasa pandemi Corona ini sudah tidak bisa lagi dibendung dan ditangani dengan menerapkan kebijakan-kebijakan sebelumnya, opsi lainnya ialah melakukan karantina wilayah berdasarkan wilayah yang memang terpapar virus Corona. Karantina wilayah sama dengan me-lockdown sepenuhnya.
Apa yang dilakukan pemerintah pada dasarnya sudah
disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku. Begitu juga kebijakan untuk
tidak me-lockdown sepenuhnya. Me-lockdown sepenuhnya berarti
warga/masyarakat dilarang berpergian dan keluar dari rumah atau wilayah,
kecuali untuk beberapa hal yang diizinkan oleh keamanan setempat. Seluruh
perkantoran pun ditutup, yang dibiarkan buka hanyalah fasilitas pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, toko swalayan yang menjual
bahan pangan, itupun yang membeli bahan pangan dibatasi pembeliannya serta dihentikannya
transportasi publik. Untuk memasuki tahap itu pemerintah wajib memenuhi segala
hak dan kebutuhan para warganya salah satunya kebutuhan pangan atau logistik
sekaliigus menerapkan regulasi dan pengawasan yang ketat. Di sisi lain, menurut
saya pemerintah tidak ingin menggunakan terminologi lockdown karena dikhawatirkan menimbulkan kepanikan berlebih di
masayarakat sebab persepsi lockdown sudah
terlanjur negatif. Jika timbul rasa panik di lingkungan masyarakat, maka akan
timbul permasalahan sosial yang baru, misal panic
buying yang berujung pada penjarahan bagi mereka yang tidak mendapat bahan
pangan, entah karena memang stok terbatas atau karena sudah diborong oleh
mereka yang memiliki uang lebih serta tindakan tindakan kriminal lainnya. Oleh
karena itu pemerintah merasa belum siap untuk melakukan lockdown sepenuhnya dikarenakan pertimbangan implikasinya terhadap
perekonomian dan keamanan.
Seperti yang sudah terjadi saat ini, kurs mata uang
rupiah mengalami penurunan hingga hampir Rp.16.000, sementara IHSG anjlok
mencapai 5 persen dan membuat Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan pembekuan
sementara perdagangan (trading halt) pada
Kamis, 19 Maret 2020[iv]. Implikasi COVID-19 terhadap perekonomian saja menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah Indonesia, bagaimana jika sampai me-lockdown sepenuhnya. Terlebih jika me-lockdown sepenuhnya pemerintah
dituntut menyediakan dan mendistribusikan logistik secara merata dan
mempeetat keamanan pada masa lockdown. Pemerintah
juga dituntut untuk mengakomodir mereka yang homeless atau tidak memiliki rumah dan hidup menggelandang. Setidaknya
pemerintah dituntut untuk menyediakan tempat tinggal sementara untuk mereka
selama berlangsungnya masa lockdown atau
memulangkan mereka ke tempat asal dengan diikuti sekian pertimbangan. Saya tekankan pemberlakuan lockdown sepenuhnya di tangan pemerintah pusat, sehingga jangan heran bila pemerintah daerah yang menerapkan lockdown dibatalkan.
Untuk saat ini penting sekali mematuhi aturan yang
pemerintah tetapkan, dan membaca segala situasi serta menyikapinya dengan baik
dan bijaksana tanpa mengedepankan preferensi politik. Kiranya lebih baik
#dirumahaja selama dua minggu untuk memutus rantai penularan virus Corona
dibandingkan berkegiatan seperti biasa tapi berpotensi menularkan atau tertular
virus Corona. Sekian.